27 oktober 2007
Aku tidur dengan rasa cemburu yang sedikit menyeruak dari hati. Sampai larut malam ini istriku belum kembali dari perginya. Dia berjanji hanya keluar dengan teman teman Sma-nya dulu,tapi nyatanya sampai jam segini belum kudapat balasan dari 8 pesan singkat yang kukirim padanya. Ada apa ini?
20 oktober 2007,seminggu yang lalu.
Ketika pagi hari menemaniku dalam menikmati secangkir teh kesukaan. Dengan ditemani alunan blues yang mengalun indah dari radio tua kesayanganku. Istriku,seperti biasanya,masih saja terlelap dalam mimpi mimpinya yang takpernah bisa kutaksir. Sejenak heningku terusik ketika kudapati telpon genggam istriku bergetar. Aneh,pikirku,selama 3 tahun kita bersama,baru kali ini dia menyetel telpon genggamnya dalam kondisi ''getar''. Aku membuka pesan singkat yang ada didalamnya,tertera nomor yang tak dikenal. Pesan singkat itu berisi,
''hei,jangan lupa nanti malam ya?? xoxo''
Shock tak terkira aku mendapati bait terakhir pesan tersebut. Xoxo,dari yang kutahu,adalah tanda berpelukan. Agar tak membuat istriku curiga,kukembalikan lagi telpon genggamnya ditempat semula.
20 oktober 2007,pukul 8 malam
''Mau kemana bunda??'',tanyaku pada wanita yang kusayangi itu. ''sebentar ayah,bunda mau mengunjungi kawan lama bunda'',''ooh,sampai jam berapa??'',lanjutku. ''tidak lama kok,mungkin jam setengah sepuluh sudah sampai rumah'' tandasnya dengan senyum mengembang yang selalu menggodaku untuk melumat bibirnya yang mungil itu. ''ayah antar ya??'',''ah tidak usah ayah,ayah jaga rumah saja,takut ada pencuri''. ''Ada benarnya juga'',pikirku. ''yaudah hati hati ya bunda,cepat pulang'',''iya ayah,assalamualaikum'' jawabnya seraya mencium tanganku,lalu pergi menghilang seiring tertutupnya pintu itu.
Dan kembali aku sendiri,bertemankan televisi yang tak pernah henti menyiarkan acara humor sampah dan sinetron bualan mereka. Aku pun menghibur diriku dalam petikan senar yang kumainkan. Satu jam dua jam,ketika kumulai bosan,kutengok jam dinding. Jam sepuluh lewat limabelas. Pintu itu masih tertutup. ''ahh mungkin lagi macet'' pikirku. Aku pun bergegas ke dapur dan mengambil makanan,mengingat aku punya lambung untuk kuhidupi. Ketika selesai makan,kutengok jam. 12.30. Ini sudah terlalu larut bagi seorang wanita yang notabene istri orang untuk berkeliaran dengan orang lain,bahkan teman lamanya sendiri. Aku pun mengambil telpon genggamku dan menarikan jariku diatasnya. ''bunda,mau pulang jam berapa? Ayah sudah capek menunggu''. Pesan terkirim. Lima belas menit kemudian,pintu terbuka. ''maaf ayah,ditempat bunda tadi hujan,jadi harus menunggu reda'',''ooh,yaudah cepat ganti baju lalu istirahat gih''. Tak tahu lagi aku harus marah atau kasihan melihatnya basah kuyup seperti itu.
21 oktober 2007
Sama seperti pagi kemarin,hanya saja kini aku ditemani Ujang,anak tetanggaku yang kedua orangtuanya sering terlibat cekcok. ''ujang sudah sarapan??'',tanyaku. Dia pun menggeleng,''mama gak bisa masak om,ujang diberi uang 10000 untuk beli makan''. Sejenak aku terkesiap. ''jang,uangnya disimpan ya?? Yuk makan sama om'' jawabku dengan setulus senyuman. Matanya membelalak tak percaya,lalu tanpa banyak bicara aku membawanya ke dapurku dan mengambilkan sepiring nasi hangat dengan telur dadar buatanku,ditambah dengan sambal goreng kentang pemberian ibuku kemarin. ''ini jang,dimakan yaa?? Om mau ke kamar dulu''. Bocah itu mengangguk polos,sembari melanjutkan suapannya. Aku sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri,sehingga meninggalkannya didalam rumahku pun tidak jadi persoalan buatku.
Aku pun masuk ke kamar,mendapati istriku tengah terduduk. Terlihat matanya masih lemas tanda mengantuk. ''sayang,selamat pagi'',sambutku dengan senyum khasku untuknya. Dia selalu suka senyumku,namun tidak hari ini. Terlihat dalam wajahnya,murung. ''hey,ada apa?'',tanyaku,khawatir. ''tidak ayah,bunda hanya takut saja ayah marah'',''loh marah kenapa bunda? Cerita saja'',ujarku. ''bunda mau bertemu kembali dengan teman teman bunda'',''oh hanya itu? Yaudah gakpapa bunda,mau ayah temani??'',''ah tidak usah ayah,bunda tau ayah capek semalam menunggu bunda,biar bunda pergi sendiri saja'',lanjutnya dengan tersenyum. Salut sekali aku dengan wanita satu ini,dia memang idaman semua pria. Parasnya yang cantik itu menambah sayangku padanya,perilakunya,tutur katanya yang halus,perangainya yang tidak pernah mengecewakanku. Aku lebih dari beruntung bisa mempersunting dia. Dia lalu berjalan pelan menuju kamar mandi,dan mulai terdengar suara basuhan basuhan mandinya. Aku pun terduduk disamping kasurku. Sembari iseng membuka telepon genggam istriku. Satu pesan baru,tertulis jelas di layar utama. Aku membukanya.
''hei,maaf ya soal kemarin,aku janji hari ini akan berbeda dari kemarin. Miss you''.
Lebih dari terkerjap,hampir saja kubanting telpon genggam itu ditanah. Namun mengingat adanya ujang,aku urungkan niatku. Kukembalikan telpon genggamnya seperti semula,sesaat kemudian dia keluar dari kamar mandi. Hanya berbalut handuk,membuat siapa saja pria yang sekamar dengannya pasti tergoda. ''bunda mau pergi jam berapa??'',tanyaku. ''sebentar lagi ayah,ini bunda mau bersiap'',jawabnya. Aku pun terdiam,berpikir,apa mungkin istriku ini,yang selama hidupnya berkata akan membaktikan hatinya padaku,berselingkuh?? Aku singkirkan pikiran bodoh itu jauh jauh. ''ayah,bunda berangkat dulu yaa,assalamualaikum'',ucapnya sembari mencium tanganku. ''waalaikumsalam'',aku hanya bisa pasrah melihat wanita itu kembali pergi,seiring tertutupnya pintu itu.
Ketika kembali ke dapur,kudapati ujang sudah menyelesaikan makannya. ''udah jang gak usah dicuci piringnya,taruh saja disitu'',ucapku seraya menunjuk ke meja. ''jangan om,kata pak ustad,kita harus membalas kebaikan orang yang sudah baik kepada kita''. Terkesiap aku,tak kupercaya,bocah berumur 7 tahun ini baru saja berbijak ria padaku. Aku saja sudah tak ingat kapan terakhir kali aku berbincang dengan ustad muda itu,ustad yang suka membaktikan dirinya untuk memberikan pelajaran pelajaran moral pada anak anak desa ini.''Begitu mulia'',pikirku.
Jam dinding masih menunjukkan pukul 9 pagi,namun mataku seakan tak berkompromi. Aku pun meninggalkan ujang,dan berlalu ke sofa di ruang keluarga. Aku merebahkan tubuhku disitu. ''Ahh nikmatnya pagi ini'',batinku.
Entah sudah berapa lama aku terlelap,sampai si Ujang membangunkanku. ''om,ujang pulang dulu ya,sudah maghrib,takut dimarahi papa'',''oh iya jang,salam ya ke papa mama'',bocah itu mengangguk sembari mencium tanganku,lalu pergi menutup pintu yang semula terbuka. Aku kembali terlelap. Namun lelapku tak nyenyak. Baru kusadari kalau ini sudah masuk waktu maghrib. Aku terduduk,lalu pergi ke kamar mengambil sarung. Terbersit di otakku sesuatu hal yang sudah jarang aku lakukan. Ya,aku akan sholat maghrib di masjid. Kulangkahkan kakiku,menyapa para tetanggaku yang sedang duduk duduk bersantai,menikmati senja.
Sampailah aku di masjid,setelah mengambil air wudhu,aku lalu baris di shaf yang sudah terbentuk. Masjid yang besar ini,hanya berisi 2 shaf saja. Itupun kebanyakan diisi oleh anak anak kecil yang sudah selesai mengaji di masjid itu. ''aneh'',kataku dalam hati.
''.. Allahu akbar..''
Kembali aku berjalan menuju istanaku,rumah hasil patunganku bersama istriku. Tak besar memang,tapi cukup untuk memberi keteduhan dalam diri kita berdua. Ketika aku membuka pintu,pintu masih terkunci,sama seperti aku meninggalkannya tadi. ''assalamualaikum..'',ucapku setengah berteriak. Sunyi. Tak ada jawaban. Kususuri seisi rumah,namun tak kudapati bidadariku itu. ''kemana dia?'',batinku. Kembali aku meraih telpon genggamku,dan mengetikkan beberapa kalimat di layarnya. ''bunda,sudah sholat maghrib?? Kok belum pulang juga?? Masih lama ya??''. Pesan terkirim.
Pintu terbuka ketika jarum jam berhenti di angka 9. ''assalamualaikum'',ucapnya. Lirih,pelan. Aku pun melangkah menuju istriku. Dia terlihat capek sekali. ''maaf ayah,bunda tadi..'',''ssshhhh...'',bisikku seraya menempelkan telunjukku pada bibirnya. Kugendong dia menuju tempat istirahat kami. Kulepas sepatunya. Dan kubiarkan dia terlelap. Tak pernah kulihat istriku seletih ini.
Hari hari selanjutnya seakan rekaman dari hari ini. Istriku kembali pergi dengan kawan lamanya,dan aku kembali terduduk sendiri di depan televisi. Kadang ditemani ujang,namun hanya sebentar,mengingat dia yang besok harus bersekolah. Aneh memang,aku yang tidak bekerja ini bisa berkecukupan hidupnya. Sebelum ini,aku adalah pebisnis muda yang bergerak dibidang makanan. Aku memiliki cafe kecil di pusat kota yang tidak pasti pengunjungnya. Namun lambat laun,aku bisa mengatasi masalah itu,dan berhasil memperluas cabangku ke beberapa kota. Itulah alasan kenapa aku tidak terikat jam kerja. Aku pengangguran yang dibayar.
28 oktober 2007,jam 5 pagi.
Usai melaksanakan kewajiban subuh. Pintu rumahku terbuka. Istriku masuk dengan santainya. Seakan tak ingat kalau dia baru saja meninggalkan suaminya seharian. Kubiarkan saja dia. Yang kulihat,dia hanya makan sebentar,lalu pergi ke kamar untuk istirahat. Tak pernah kulihat dia setidak peduli ini.
Iseng,aku cek telpon genggamnya. Terdapat banyak sekali pesan dari nomor yang tidak dikenal,namun nomor itu sama semua. Pesan terakhir
berbunyi,
''terima kasih atas malam ini,sayang. Kamu hebat sekali xoxo''
Lebih dari marah,aku berlalu pergi dari kamarku. Aku tenangkan pikiranku dengan berjalan jalan keluar rumah. Bercanda sejenak dengan si ujang. Bocah itu seakan menjadi pelipur laraku. Semua yang dia katakan,dia ucapkan,selalu berhasil membuatku tertawa. Namun itu tak cukup untuk singkirkan kenyataan bahwa istriku berselingkuh. Ya,aku sudah memiliki terlalu banyak bukti untuk hipotesis itu. Kini yang harus kulakukan adalah menjaga hati ini agar tidak tertutup amarah,dan melakukan tindakan bodoh. Entah apapun tindakan itu.
29 oktober 2007
Istriku membangunkanku. ''ayah,bangun..''. Kembali aku teringat bagaimana nikmatnya dia selingkuh dibelakangku,hingga kini aku jijik dipanggil ayah olehnya. ''ayaah,bangun..!!'',ucapnya setengah berteriak,sambil mencolek jari kakiku. Dia tahu aku tidak suka diperlakukan seperti itu. Aku pun terduduk bangun. Dia lalu mengulurkan tangannya yang menggenggam kertas kecil,seperti lakmus. Tak jelas,aku pun meraih kacamataku disamping kasur. ''apa itu??'',tanyaku. ''ayaah,aku hamil..!!!'',ucapnya dengan tersenyum sembari menjatuhkan bulir bulir airmata. Satu hal yang aku tanyakan adalah,bagaimana bisa dia hamil,sedangkan selama seminggu ini aku bahkan tidak menjamah tubuhnya sama sekali?? ''wow,itu berita bagus bunda..!!!'',ucapku berusaha tutupi curigaku. ''kita harus beritahukan kabar gembira ini ke keluarga besar kita'',lanjutku. ''sepertinya jangan dulu,ayah. Biarkan saja mereka tahu dengan sendirinya.'' ucapnya lembut dengan tersenyum. Seakan tak sadar kalau yang dia ucapkan itu bertentangan dengan keinginanku.
Hari hari setelah itu,dia tidak pernah lagi keluar malam,mengingat dia yang kini sudah berbadan dua. Waktunya hanya dihabiskan untuk membaca novel kesukaannya dan melihat televisi. Dia juga tak pernah lagi melakukan pekerjaan rumah. Aku yang harus menggantikan posisinya. Pagi pagi sekali aku menyapu,mengepel,membersihkan dapur,memasak,dan semua hal lain yang harusnya dia lakukan. ''Tapi tak apalah,daripada dia keguguran'',batinku.
7 juli 2008,pukul 1 dinihari
Istriku terlihat gelisah sekali,berulangkali dia membangunkanku. ''ayaaah,si kecil mau keluar..!!'',teriaknya. Aku yang setengah sadar langsung membopong istriku ke mobil dan melaju menuju rumah sakit terdekat. Dokter yang sudah ada janji dengan kita langsung menangani istriku dengan baik dan cekatan. ''pak,bapak boleh dampingi istri bapak kalau mau'',ujar pak dokter. ''ah tidak dok,saya tunggu diluar saja,saya juga harus memberi kabar dengan keluarga besar'',jawabku. ''jangan lupa berdoa ya pak'',lanjut pak dokter seraya tersenyum. ''dari wajah pak dokter saja saya yakin kalo proses kelahiran ini berhasil'',ucapku sekenanya. Dokter itu tersenyum lalu berlalu pergi ke ruang operasi. Aku pun terduduk di depan ruang operasi,sembari tak henti hentinya mengetikkan pesan singkat pada keluargaku dan keluarga istriku akan kabar bahagia ini. Sembari tak henti juga mulutku berdzikir berdoa agar proses kelahiran ini lancar tanpa ada gangguan.
Satu setengah jam berlalu. Pak dokter itu keluar dari ruangan operasi. ''selamat pak,anda sudah menjadi ayah sekarang,anaknya lahir dengan normal dan sehat,jenis kelaminnya perempuan,istri anda juga sehat wal afiat,bapak boleh menengok istri bapak sekarang'',''terima kasih banyak,dok'',ujarku sambil berlari kecil memasuki ruang operasi. Kudapati istriku sedang menyusui bayi mungil itu. ''hai ayah,anakmu sudah lahir'',ujar istriku sembari tersenyum manis sekali. Aku memeluknya dengan hangat,sejenak kulupakan kebiasaan buruknya 9 bulan lalu. Aku juga baru menyadari kalau dia baru saja mengatakan ''anakmu..'',padahal sudah jelas kalau bayi itu bukan darah dagingku.
9 agustus 2008
Setelah sholat ashar,aku beristirahat di kamarku. Seketika telpon genggam istriku bergetar kembali. Kulihat layarnya,tertulis nomor yang mungkin akan selalu tercetak di otakku. Kubuka pesannya,disitu tertulis,
'' hei sayang,malam ini mampir yaa?? Miss you ''
Seperti terbiasa,aku pun meletakkan kembali telpon genggam istriku. Namun kali ini,aku mempunyai sebuah rencana.
''ayah,bunda mau pergi ke rumah keluarga bunda dulu ya'',''oh iya bunda,hati hati ya''. Lalu istriku menutup pintu,dan pergi menjauh. Aku berjingkat,dan mengintip lewat jendela. Istriku memakai mobilku,akhirnya aku pun mengeluarkan sepeda motor kesayanganku. Aku ikuti dia. Aku kenal jalan rumahnya,dan ini bukan jalan menuju rumahnya. Dia pergi agak jauh dari rumah. Menuju ke pinggiran kota. Dia berhenti didepan sebuah rumah kecil. Lalu dari rumah itu keluar seorang pria. Sayangnya,aku mengenalnya. Pria itu adalah kawan baik istriku. Dia adalah teman satu gengnya sewaktu sma. Mereka berdua berpelukan sembari masuk ke dalam rumah. Suasana begitu hening sampai aku bisa mendengar suara pintu itu dikunci. Aku turun dari motorku,kutuntun didepan rumahnya,dan mulai berjingkat. Aku mengintip lewat jendela,istriku sedang bermesraan dengan lelaki itu. Panas sekali hatiku,namun aku sukses meredam amarahku. Sejenak kemudian mereka masuk kedalam kamar,dan kembali bisa kudengar pintu kamar itu dikunci.
Aku kembali ke sepeda motorku,mengambil perkakas. Dengan hati hati aku mencongkel jendela rumah itu. Aku berhasil masuk kerumahnya. Aku berjingkat menuju kamar maksiat itu. Terdengar desahan desahan istriku yang begitu kukenal dan ''sempat'' kusayang. Aku menengok ke lubang ventilasi kamar itu. Kulihat,dengan mata kepalaku sendiri,istriku sedang bermesraan dan bercumbu dengan lelaki itu. Tanpa pikir panjang,aku pun menendang pintu kamar itu. Ketika kudapati lelaki itu bertelanjang dada,sedang menggoda istriku. Aku pun kalap. Istriku berteriak. Namun percuma,kawasan itu begitu sepi sehingga tak ada yang datang. Aku langsung terlibat baku hantam dengan pria itu. ''bajingan kau..!!!'',ucapku seraya melayangkan tinjuku padanya. Kami berpukulan cukup sengit. Istriku,setelah selesai berpakaian,kabur dengan mobilnya. Sedangkan aku masih memukuli lelaki itu. Tak bicara. Tak berhenti. Aku menindihnya,dan terus menimpakan tinjuku kearah mukanya. ''ampun mas,ampuun.. Aku cuma ingin hidup..!!'',teriaknya. Namun telingaku sudah tertutup oleh amarahku. Aku berhenti ketika kulihat dia sudah tergeletak tak berdaya,mukanya penuh lebam. Aku langsung pergi kembali ke rumahku.
Sesampainya dirumah,kudapati istriku terduduk menangis sedang meletakkan pakaiannya kedalam koper besar. Aku menyeret koper itu dan membuangnya. Isinya berhamburan keluar. ''apa yang ada di otakmu sehingga kamu tega berselingkuh dibelakangku hah??'',''maaf mas,maaf''. Berulangkali kata itu yang kudengar. ''lalu kenapa sekarang kamu berkemas?? Kamu mau meninggalkanku apa?? Sudah 4 tahun kita bersama,sudah gilakah kamu??'',''maaf mas,aku khilaf'',''aku juga ingin minta penjelasan soal anak itu,kamu jujur sama aku sekarang,apakah itu darah dagingku?? Karena aku tidak yakin itu anakku'','' benar mas,itu anakmu'',''JANGAN BOHONG..!!!'',''ampun mas,ampun'',''ampun apa?? Kamu kemanakan otakmu itu hah?? Tak puas kamu dengan aku yang sudah mencintaimu sama seperti dahulu?? Apa harus kamu cari kehangatan pria lain diluar sana?? Kembalikan istriku yang dulu kucinta..''. Kugoncang pundaknya yang bergetar. Karena tak kuasa lagi,aku pun meninggalkannya menangis tersedu,dan kupacu sepeda motorku menuju jembatan tua dekat desaku. Inilah satu satunya kenanganku yang paling berharga dengan istriku. Menuju kemari adalah kesalahan bagiku,semua kenangan itu kini menyiksaku,dimana sekarang aku kembali jatuh hati lagi padanya.
Kenangan ketika malam itu aku kabur dengannya kemari,bersandar pada satu pohon rindang disini,tertidur,dan siangnya dibangunkan oleh tukang becak yang kebetulan lewat.
Kenangan ketika sepatu kesayangannya terjatuh kedalam sungai yang tak terlalu dalam,dan tuksedo ayahku pun basah karena usahaku menyelamatkan sepatunya.
Kenangan ketika kami menorehkan inisial nama kami di pohon rindang itu. Ahh semua kenangan itu menyiksaku nikmat. Dapat kulihat bekas torehan inisial itu,sekarang semakin buram dan kabur terkena guyuran hujan dan terpaan usia. Sama seperti sang empunya.
Perlahan aku bersandar pada jembatan itu,letaknya yang dipinggir desa membuat malam itu menjadi sepi. Tak ada satu orang pun lewat pada malam itu. Aku merasa tenang. Aku merasa sendiri. Aku merasa inilah saat saat untukku. Kuberanikan diri duduk di pinggiran jembatan itu. Kurasakan angin malam pelan menghembusku,seakan menambah hasratku untuk lompat dan jatuh. Ya,aku ingin bunuh diri. Aku tak tahu mengapa seperti tidak ada tempat lain untukku bunuh diri,hanya jembatan inilah yang terlintas di otakku. Mungkin karena timbunan kenanganku dengan istriku... mantan istri,maksutku. Aku ingin,setidaknya disinilah aku gila karena dia,hidup karena dia,tertawa bersamanya,dan kini,mati karena dia. Perlahan aku berdiri,dan mengumpulkan seluruh keberanianku,untuk terjun. Sejenak aku mendengar,sayup sayup suara sirine. Polisi. Semakin keras,dan dekat.
''pak,ini bisa diselesaikan dengan baik baik,pak. Saya sudah menangkap pria idaman lain istri anda,beserta istri anda,pak. Turun ya pak??''. Teriakan polisi itu membuyarkan malamku yang sunyi. 15 menit kemudian,warga sudah mengelilingiku,mencoba bernegosiasi denganku. Aku bisa dengar mereka menggunjing tentang istriku. Bagaimana seorang wanita berjilbab pendiam,pemalu,cantik,dan sholehah bisa berselingkuh. ''tanyakan saja pada dia,bu'',ucapku perlahan. Aku menutup mataku. Sesaat,kurasakan hening yang kudambakan. Namun tak sehening awal tadi. ''pak,semua masalah pasti ada solusinya,pak. Yang penting anda harus tenang..!!''
Kututup mataku,kubentangkan tanganku,kucoba rasakan kebebasan sesaat ini. Teriakan orang orang semakin keras kudengar,namun entah mengapa,seakan suara mereka memudar. Yang hanya bisa kudengar adalah tiupan angin yang perlahan berbisik,''turunlah.. Aku punya kejutan untukmu..''. Perlahan kutundukkan kepalaku,dan condongkan tubuhku kedepan.
Aku jatuh.
27 oktober 2007, 23.30
Aku tidur dengan rasa cemburu yang sedikit menyeruak dari hati. Sampai larut malam ini istriku belum kembali dari perginya. Dia berjanji hanya keluar dengan teman teman Sma-nya dulu,tapi nyatanya sampai jam segini belum kudapat balasan dari 8 pesan singkat yang kukirim padanya. Ada apa ini?
Aku terkejut dengan goyangnya kasurku. Kurasakan ada yang naik ke kasurku. Hembusan nafasnya hangat,bau parfumnya akrab di hidungku. Kunikmati sesaat. Kecupan hangat bibirnya membasahiku pipiku. Dia pun tertidur pulas disampingku.
Aku terbangun. Terduduk. Istriku ikut terbangun. ''ayaahh..'',ucapnya seraya memelukku,hangat sekali,nyaman sekali. ''bunda sudah pulang?? Kok larut sekali??'',ujarku. Dia hanya tersenyum dan memelukku,erat sekali. Seraya berbisik,
''.. Bunda sudah bisa menaksir mimpi ayah,dan ayah bisa pastikan sendiri,kalau hati bunda,yang ada diraga bunda,hanya untuk ayah ..''
''.. Beruntung sekali bunda bisa menjadi istri ayah,dan tidak akan pernah menyia nyiakan ayah dengan pergi dan mencari kehangatan lain diluar sana ..''
''.. Dihati ayah,bunda bernaung ..''
''.. Dihati ayah,bunda tertidur ..''
''.. Dihati ayah,bunda baktikan seluruh hidup bunda untuk menjadi pendamping ayah ..''
''.. Dihati ayah,bunda menutup mata ..''
Dan dimalam itu,aku mendapatkan istriku kembali..
bosen? boring? well,kalian datang di tempat yg tepat,blog ini bakalan membantu mengatasi masalah kebosanan kalian (atau setidaknya membantu biar tambah bosan :)
Monday, April 28, 2014
Saturday, February 22, 2014
Kunci Hidup
Terkadang,orang orang lupa akan tujuan hidup mereka. Mereka hanya tau berhasil aja tanpa peduli sejarahnya. Sejatinya apa sih tujuan hidup manusia?? Apakah mendapatkan uang berlimpah?? Punya rumah 17 tingkat?? Pasangan hidup yang sempurna dan mapan?? TIDAK
Tujuan hidup manusia itu simple,bahagia dan membahagiakan. Ada satu kalimat yang sering terngiang dipikiran saya.
Baca Selengkapnya → Kunci Hidup
Tujuan hidup manusia itu simple,bahagia dan membahagiakan. Ada satu kalimat yang sering terngiang dipikiran saya.
Jika kamu tidak bisa memberi senyum pada orang lain,jangan melemparkan air mata kepada mereka.Simple kan?? Tapi nusuk men. Pernahkah anda tertawa pada kegagalan anda?? Pernahkah anda menemui pengemis dipinggir jalan dan mencoba bercanda dengannya?? Jika tidak,cobalah,maka anda akan tau arti bahagia sesungguhnya :)
I wanna be like dad in this story :)
Steven adalah seorang karyawan perusahaan yang cukup terkenal di Jakarta, memiliki dua putra. Putra pertama baru berusia 6 tahun bernama Leo dan putra kedua berusia dua tahun bernama Kristian. Seperti biasa jam 21.00 Steven sampai di rumahnya di salah satu sudut Jakarta, setelah seharian penuh bekerja di kantornya. Dalam keremangan lampu halaman rumahnya dia melihat Leo putra pertamanya di temani Bik Yati, pembantunya menyambut digerbang rumah.
Kok belum tidur Leo? sapa Steven sambil mencium anaknya. Biasanya Leo sudah tidur ketika Steven pulang dari kantor dan baru bangun menjelang Steven berangkat ke kantor keesokan harinya.
Leo menunggu papa pulang, Leo mau tanya, gaji papa itu berapa sih Pa? kata Leo sambil membuntuti papanya.
Ada apa nih,kok tanya gaji papa segala?
Leo cuma pingin tahu aja kok pah?
Baiklah coba Leo hitung sendiri ya. Kerja papa sehari di gaji Rp.600.000,-, nah selama sebulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Nah berapa gaji papa sebulan?
Sehari papa kerja berapa jam Pa?
Sehari papa kerja 10 jam Leo, nah hitung sana, Papa mau melepas sepatu dulu.
Leo berlari ke meja belajarnya dan sibuk mencoret-coret dalam kertanya menghitung gaji papanya. Sementara Steven melepas sepatu dan meminum teh hangat buatan istri tercintanya.
Kalau begitu,satu bulan Papa di gaji Rp.15.000.000,-,yah Pa? Dan satu jam papa di gaji Rp.60.000,-. Kata Leo setelah mencoret-coret sebentar dalam kertasnya sambil membuntuti Steven yang beranjak menuju kamarnya.
Nah, pinter kamu Leo. Sekarang Leo cuci kaki lalu bobok. Perintah Steven,namun Leo masih saja membuntuti Steven sambil terus memandang papanya yang berganti pakaian.
Pah, boleh tidak Leo pinjam uang Papa Rp.5.000,- saja? tanya Leo dengan hati-hati sambil menundukkan kepalanya.
Sudahlah Leo,nggak usah macam-macam, untuk apa minta uang malam-malam begini. Kalau mau uang besok aja, Papa kan capek mau mandi dulu. Sekarang Leo tidur supaya besuk tidak terlambat ke sekolah!
Tapi Pah
Leooo!!! Papa bilang tidur! bentak Steven mengejutkan Leo.
Segera Leo beranjak menuju kamarnya. Setelah mandi Steven menengok kamar anaknya dan menjumpai Leo belum tidur. Leo sedang terisak pelan sambil memegangi sejumlah uang. Steven nampak menyesal dengan bentakannya. Dipegangnyalah kepala Leo pelan dan berkata: Maafkan Papa ya nak. Papa sayang sekali pada Leo. ditatapnya Leo anaknya dengan penuh kasih sambil ikut berbaring di sampingnya.
Nah katakan pada Papa,untuk apa sih perlu uang malam-malam begini. Besuk kan bisa, jangankan Rp.5.000,- lebih banyak dari itupun akan papa kasih.
Leo nggak minta uang Papa kok, Leo cuma mau pinjam. Nanti akan Leo kembalikan, kalu Leo udah menabung lagi daru uang jajan Leo.
Iya, tapi untuk apa Leo? tanya Steven dengan lembut.
Leo udah menunggu papa dari sore tadi, Leo nggak mau tidur sebelum ketemu Papa. Leo pingin ngajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang bahwa waktu papa berharga. Jadi Leo ingin beli waktu Papa.
Lalu. tanya Steven penuh perhatian dan kelihatan belum mengerti.
Tadi Leo membuka tabungan, ada Rp. 25.000,-. Tapi karena Papa bilang satu jam papa dibayar Rp.60.000,- maka untuk setengah jam berarti Rp. 30.000,-. Uang tabungan Leo kurang Rp. 5.000,-. Maka Leo ingin pinjam pada Papa. Leo ingin membeli waktu papa setengah jam saja, untuk menemani Leo main ular tangga. Leo rindu pada papa. Kata Leo polos dengan masih menyisahkan isakannya yang tertahan.
Steven terdiam, dan kehilangan kata-kata. Bocah kecil itu dipeluknya erat-erat, bocah kecil yang menyadarkan bahwa cinta bukan hanya sekedar ungkapan kata-kata belaka, namun berupa ungkapan perhatian dan kepedulian.
Sumber :)
Baca Selengkapnya → I wanna be like dad in this story :)
Kok belum tidur Leo? sapa Steven sambil mencium anaknya. Biasanya Leo sudah tidur ketika Steven pulang dari kantor dan baru bangun menjelang Steven berangkat ke kantor keesokan harinya.
Leo menunggu papa pulang, Leo mau tanya, gaji papa itu berapa sih Pa? kata Leo sambil membuntuti papanya.
Ada apa nih,kok tanya gaji papa segala?
Leo cuma pingin tahu aja kok pah?
Baiklah coba Leo hitung sendiri ya. Kerja papa sehari di gaji Rp.600.000,-, nah selama sebulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Nah berapa gaji papa sebulan?
Sehari papa kerja berapa jam Pa?
Sehari papa kerja 10 jam Leo, nah hitung sana, Papa mau melepas sepatu dulu.
Leo berlari ke meja belajarnya dan sibuk mencoret-coret dalam kertanya menghitung gaji papanya. Sementara Steven melepas sepatu dan meminum teh hangat buatan istri tercintanya.
Kalau begitu,satu bulan Papa di gaji Rp.15.000.000,-,yah Pa? Dan satu jam papa di gaji Rp.60.000,-. Kata Leo setelah mencoret-coret sebentar dalam kertasnya sambil membuntuti Steven yang beranjak menuju kamarnya.
Nah, pinter kamu Leo. Sekarang Leo cuci kaki lalu bobok. Perintah Steven,namun Leo masih saja membuntuti Steven sambil terus memandang papanya yang berganti pakaian.
Pah, boleh tidak Leo pinjam uang Papa Rp.5.000,- saja? tanya Leo dengan hati-hati sambil menundukkan kepalanya.
Sudahlah Leo,nggak usah macam-macam, untuk apa minta uang malam-malam begini. Kalau mau uang besok aja, Papa kan capek mau mandi dulu. Sekarang Leo tidur supaya besuk tidak terlambat ke sekolah!
Tapi Pah
Leooo!!! Papa bilang tidur! bentak Steven mengejutkan Leo.
Segera Leo beranjak menuju kamarnya. Setelah mandi Steven menengok kamar anaknya dan menjumpai Leo belum tidur. Leo sedang terisak pelan sambil memegangi sejumlah uang. Steven nampak menyesal dengan bentakannya. Dipegangnyalah kepala Leo pelan dan berkata: Maafkan Papa ya nak. Papa sayang sekali pada Leo. ditatapnya Leo anaknya dengan penuh kasih sambil ikut berbaring di sampingnya.
Nah katakan pada Papa,untuk apa sih perlu uang malam-malam begini. Besuk kan bisa, jangankan Rp.5.000,- lebih banyak dari itupun akan papa kasih.
Leo nggak minta uang Papa kok, Leo cuma mau pinjam. Nanti akan Leo kembalikan, kalu Leo udah menabung lagi daru uang jajan Leo.
Iya, tapi untuk apa Leo? tanya Steven dengan lembut.
Leo udah menunggu papa dari sore tadi, Leo nggak mau tidur sebelum ketemu Papa. Leo pingin ngajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang bahwa waktu papa berharga. Jadi Leo ingin beli waktu Papa.
Lalu. tanya Steven penuh perhatian dan kelihatan belum mengerti.
Tadi Leo membuka tabungan, ada Rp. 25.000,-. Tapi karena Papa bilang satu jam papa dibayar Rp.60.000,- maka untuk setengah jam berarti Rp. 30.000,-. Uang tabungan Leo kurang Rp. 5.000,-. Maka Leo ingin pinjam pada Papa. Leo ingin membeli waktu papa setengah jam saja, untuk menemani Leo main ular tangga. Leo rindu pada papa. Kata Leo polos dengan masih menyisahkan isakannya yang tertahan.
Steven terdiam, dan kehilangan kata-kata. Bocah kecil itu dipeluknya erat-erat, bocah kecil yang menyadarkan bahwa cinta bukan hanya sekedar ungkapan kata-kata belaka, namun berupa ungkapan perhatian dan kepedulian.
Sumber :)
Untukmu pt. 2
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku. Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. Apalagi??
Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana? tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena musuhku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi? kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Bella tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu., dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?
Aku merangkulnya sambil berkata Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.
Putriku menatapku, seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?
Aku menggeleng, bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Sumber (dengan perubahan sedikit :p)
Baca Selengkapnya → Untukmu pt. 2
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku. Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. Apalagi??
Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana? tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena musuhku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi? kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Bella tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu., dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?
Aku merangkulnya sambil berkata Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.
Putriku menatapku, seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?
Aku menggeleng, bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Sumber (dengan perubahan sedikit :p)
Subscribe to:
Posts (Atom)